”Assalamu’alaikum” Ucapnya dengan lembut.
”Wa’alaikumussalam” Jawabku sambil melemparkan senyum padanya.
”Afwan kamu Dinda kan, istrinya Yusuf?”
”Iya. Kamu pasti Alifa” Jawabku menimpalinya.
”Iya aku Alifa. Kamu masih ingat aku? Bukankah kita belum pernah berkenalan?”
”Bagaimana mungkin aku lupa. Suamiku kan pernah menyebut namamu ketika kamu datang ke pernikahanku”.
”Oh, syukurlah kalau kamu masih ingat. Aku pikir kau tak akan mengenaliku”
”Tenang saja. Aku selalu berusaha untuk mengingat orang-orang yang pernah aku kenal. Oh iya, kamu ikut acara ini?”
”Iya. Kamu sendirian? Yusufnya mana?”
”Mungkin sebentar lagi akan sampai. Tadi kami janjian untuk bertemu disini”
”Oh begitu” Sahut Alifa datar. Aku mengangguk sambil tersenyum.
”Oh iya hampir lupa” Tukasnya padaku. Dia mengambil sesuatu dari tasnya.
”Ini” Ucapnya sambil memberikan sebuah undangan pernikahan berwarna biru tua padaku. Aku menerimanya.
”Ini
undangan pernikahanku. Datang ya?” Sambungnya. Aku menatapnya sesaat
lalu kubuka undangan itu. Disitu tertera nama Alifa Oktaviana menikah
dengan Guntur Maulana.
”Selamat ya?” Ucapku padanya. Dia mengangguk.
”Kalau
begitu aku ke dalam dulu ya? Jangan lupa datang bersama suamimu di hari
pernikahanku nanti” Ucapnya sebelum pergi meninggalkanku.
”Insya
Allah nanti aku sampaikan” Sahutku. Alifa tersenyum dan pergi dari
hadapanku. Kulihat lagi jam tanganku. Sudah pukul 17 lewat 30 menit tapi
Mas Yusuf belum juga datang. Kemana dia?
Tak
lama berselang aku mendapati seorang ikhwan yang dulu pernah aku lihat
di book fair. Dia temannya Mas Yusuf yang pernah berbincang dengannya.
Aku melihatnya tepat ketika dia melihat kearahku. Dia mengangguk dan
menghampiriku.
”Assalamu’alaikum. Yusufnya kemana ukh ?” Tanyanya padaku.
Aku menggeleng, ”Wa’alaikumusslam. Belum datang”.
”Oh...Bukannya bareng?”
Aku menggeleng lagi sambil mengarahkan pandanganku kearah jalan. Siapa tahu Mas Yusuf sudah datang.
”Tadi
sih ana ketemu dia di sekolah terus dia bilang mau pergi jenguk Mas
Bambang yang lagi sakit. Tapi dia nggak bilang mau datang kesini”
Jelasnya.
”Memang Mas Bambang sakit apa? Antum tahu kapan dia pergi jenguk Mas Bambang?” Tanyaku.
”Tadi
pagi kakinya Mas Bambang tersiram air panas, jadi tadi dia tidak
mengajar. Kayaknya abis Ashar tadi deh Yusuf jalan. Soalnya dia bilang,
pulang dari rumah Mas Bambang dia mau langsung kerumah ibunya. Mau
nginep katanya. Tapi nggak tahu juga sih”
Aku terdiam sejenak.
”Randi!! Ayo!” Teriak salah seorang memanggil ikhwan yang kini ada di hadapanku yang kutahu bernama Randi.
”Afwan. Ana duluan. Asslamu’alaikum” Ucapnya lalu melangkah menghampiri seseorang yang tadi memanggilnya.
”Wa’alaikumussalam” Sahutku.
Pikiranku
semakin kacau. Apa Mas Yusuf lupa dengan janjinya? Apa Mas Yusuf lupa
kalau aku sekarang tengah menantinya disini? Oh Tuhan, apa yang
sebenarnya terjadi? Mengapa Engkau mendatangkan Randi kesini untuk
memberikan kabar yang membuatku bimbang? Sesaat lamanya aku terdiam
sampai akhirnya aku menyadari kalau rintik-rintik hujan telah membasahi
pakaianku. Segera saja aku ambil payung dari dalam tas dan kubuka untuk
melindungi tubuhku dari hujan. Kalau saja Mas Yusuf tidak menyuruhku
menunggunya disini, pasti aku sudah masuk kedalam lebih dulu. Dan kalau
saja aku tidak berjanji untuk menunggunya sampai ia datang, pasti saat
ini aku sudah berada di dalam tanpa harus berdiri disini ditemani hujan
yang turun semakin deras.
Langit sudah
semakin mendung dan azan Maghrib pun berkumandang. Dengan berucap
bismillah aku melangkahkan kakiku kedalam diiringi niat kalau aku hendak
menunaikan shalat Maghrib dan bukan bermaksud untuk mengingkari janjiku
pada Mas Yusuf.
Setelah shalat Maghrib, aku
kembali lagi kedepan. Dengan harapan Mas Yusuf pasti datang. Hujan
sudah mulai reda, namun masih ada sisa-sisa gerimisnya yang membasahi
jilbabku. Aku sudah mulai letih. Aku berniat menghubungi Mas Yusuf
kembali. Tapi kuurungkan. Akhirnya aku putuskan untuk mengiriminya pesan
yang isinya:
Mas, bkn mksudku ingin
mengingkari janjiku u/ menunggumu disini smp kau dtg. Tp sungguh, aku
sdh tk kuat lagi berdiri disini u/ menunggumu. Jd aku hrp, kau mau
mengizinkanku u/ plg skrg.
Kukirim segera.
Alhamdulillah pengiriman berhasil. Allah selalu ada bagi hambahambaNya
yang bersabar. Tak lama kemudian satu pesan aku terima. Dari Mas Yusuf.
Ternyata Isinya,
Aku segera kesana. Kau jgn kmn2. Kali ini aku janji. Afwan
Tiba-tiba
air mataku jatuh membasahi ponsel yang kupegang. Aku berusaha untuk
meluruskan pikiranku. Aku berusaha untuk tetap memikirkan hal-hal baik
tentang Mas Yusuf, tapi kenapa air mata ini masih saja membasahi
wajahku? Sekuat tenaga aku yakinkan diriku kalau Mas Yusuf hanya
terlupa. Dan bukan karena dia tidak mencintaiku makanya dia lupa pada
janjinya.
Seperempat jam aku menunggunya
akhirnya dia datang juga. Entah bagaimana lagi raut wajahku saat ini.
Yang pasti aku berusaha untuk tetap tersenyum melihat kedatangannya.
”Maaf
ya, maaf banget. Tadi aku lupa kasih tahu kamu kalau Mas Bambang itu
sakit. Tadi pagi kakinya tersiram air panas waktu mau menyeduh kopi,
jadi tadi dia tidak mengajar. Lalu guru-guru yang lain mengjak aku untuk
menjenguknya. Kamu tidak marah kan?” Cerocosnya begitu dia sampai di
hadapanku.
Aku memandanginya lekat-lekat
tanpa bisa menjawab sedikitpun. Aku bingung harus menjawab apa. Aku
memang marah dan kesal padanya, tapi aku juga tidak mau dia tahu kalau
aku marah padanya. Aku putuskan untuk menggeleng sambil berucap, ”Iya”
”Maksudnya?” Tanyanya tidak mengerti.
”Coba
kamu pikirkan kembali apa jawabanku barusan. Kalau kau mengerti, pasti
kau tahu apa maksud dari jawabanku” Sahutku dengan nada datar. Aku sudah
lelah. Dia terdiam. Acara di Bumiwiyata sudah selesai. Orang-orang
sudah berhamburan keluar. Aku teringat Alifa yang memberikan undangan
pernikahnnya padaku. Aku segera mengambilnya dari dalam tas dan
memberikannya pada Mas Yusuf.
”Nih” Ucapku sambil menyodorkan undangannya.
”Apa ini?” Tanyanya sambil meraih undangannya dariku.
”Undangan pernikahan Alifa” Jawabku. Dia membukanya dan membacanya. Tak lama dia berucap datar.
”Mungkin inilah yang terbaik”
Aku hanya diam. Dia mengembalikan undangannya padaku dan menyuruhku naik ke motornya. Sambil naik aku berkata,
”Sebaiknya
kita tidak usah kerumah ibu. Tidak enak rasanya datang kesana dengan
pakaianku yang basah. Lebih baik besok saja kita kesananya”
”Baiklah” Sahutnya.
Motor
yang kami tumpangi segera berbaur dengan kendaraan lainnya di jalan
raya. Sepanjang jalan kami hanya diam sambil mengintrospeksi diri
masing-masing. Adakah surga yang tadi aku impi-impikan bisa aku cium
baunya? Adakah surga yang telah Allah janjikan itu, bisa juga kami
rasakan? Entahlah. Hanya waktu yang dapat menentukan.
Hanya kesabaran dan kekuatan yang dapat menunjukkan segalanya dengan jelas. Aku hanya bisa berdo’a dalam diamku.
Hari
pernikahan Alifa tiba. Aku dan Mas Yusuf pergi kesana bersama-sama.
Setelah kemarin aku menyerahkan revisi novelku yang ketiga pada pihak
penerbit, aku langsung membeli kado pernikahan untuk Alifa.
Mas
Yusuf terlihat murung. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Apa
mungkin dia masih menyimpan nama Alifa dalam hatinya? Entahlah. Aku tak
bisa berbuat apa-apa. Didepan sebuah rumah berbentuk seerhana, Mas Yusuf
menaruh motornya dengan beberapa motor lainnya yang sudah terparkir
lebih dulu disana. Setelah menulis nama kami di buku tamu dan memberikan
bingkisanku pada dua orang wanita berjilbab ayu yang duduk disana, kami
masuk kedalam menemui Alifa dan suaminya.
Senyuman
penuh kehangatan terpancar di wajah cantik nan menawan Alifa. Dia
benarbenar tidak bisa memungkiri kalau hari ini dia begitu bahagia.
Bahagia karena hari ini dia sudah resmi menjadi seorang istri, bahagia
karena hari ini adalah hari pernikahannya, dan bahagia karena dia dan
suaminya, saling mencintai.
Tapi Alifa tidak
sadar dan tidak menyadari, kalau ada seseorang yang hatinya begitu
hancur melihat dia bersanding dengan orang lain. Dia adalah suamiku
sendiri. Sebagai seseorang yang sudah hidup bersamanya selama lima bulan
lebih, aku sudah bisa melihat ada kemurungan lain yang aku tangkap di
wajahnya yang sendu. Mungkin dia berpikir, ’seharusnya aku yang ada di
pelaminan itu dan bukan lelaki yang bernama Guntur itu’.
Astaghfirullah!! Aku tak mau su’udzan pada suamiku. Kembali kuluruskan
niatku. Aku memasuki halaman rumahnya yang sudah di penuhi oleh para
tamu. Undangan laki-laki dan undangan wanita di pisah oleh hijab.
Aku
bersalaman dengan Alifa dan memeluknya dengan erat seraya mengucapkan
kalimat yang sama seperti yang pernah ia ucapkan padaku saat menikah.
”Barakallah ya Alifa? Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah”
”Syukran ya?” Ucapnya.
Aku
mengangguk dan tersenyum. Mas Yusuf hanya bersalaman pada Guntur tanpa
berucap sepatah katapun padanya. Aku mengerti perasaannya. Sebelum kami
beranjak pergi, Alifa meminta kami untuk berfoto bersama. Aku berdiri
disamping Alifa dan Mas Yusuf berdiri di samping Guntur. Tinggi badanku
hampir sama dengan Alifa dan sepertinya tinggi badan Mas Yusuf pun tak
jauh beda dengan Guntur.
Setelah berfoto,
aku dan Mas Yusuf meminta diri. Aku mengambil hidangan di tempat akhwat
dan Mas Yusuf mengambil hidangan di tempat ikhwan. Setelah menghabiskan
makanan kami, Mas Yusuf memberikan isyarat matanya padaku sambil
mengangguk pelan. Menandakan bahwa dia ingin segera pulang. Aku pun
menurutinya.
Sebelum pulang, sekali lagi
kami berpamitan pada Alifa dan Guntur. Dia menyayangkan kami yang
terkesan buru-buru sekali. Tapi apa boleh buat, Mas Yusuf sudah
mengajakku pulang. Setelah berpamitan, kami pulang dengan perasaan kami
masing-masing. Menatap kembali senyum Alifa yang terlihat begitu bahagia
Tiga
bulan telah berlalu dari hari itu. Dan malam ini, aku kembali
meneteskan air mataku. Suami yang aku bangga-banggakan selama ini
ternyata berbohong padaku. Kenapa seseoang yang taat beragama,rajin
beribadah dan membaca Al-Qur’an, serta seorang yang terbiyah seperti dia
bisa membohongiku? Aku tak pernah habis pikir. Tadi pagi dia mengatakan
padaku bahwa dia tidak bisa ikut hadir dalam acara munasoroh Palestine
di Monas. Tapi ternyata, diantara ribuan, bahkan puluhan ribu ikhwan
yang datang pada acara itu, kedua mataku menangkap sosok seorang ikhwan
yang sudah lebih dari 8 bulan ini hidup bersamaku. Aku melihat suamiku
tengah mengibarkan bendera Palestina, lengkap dengan topi dan ikat
kepalanya yang bertuliskan ’Save Palestine’. Dia mengibarkan bendera itu
dengan penuh semangat dan ghirah yang selalu membakar jiwa.
Entah
mengapa Allah swt menampakkannya di penglihatanku di tengah kerumunan
orangorang itu. Remuk redam rasanya jiwa ini ketika aku sadar dia
membohongiku. Berkali-kali aku yakinkan diriku bahwa orang yang aku
lihat itu bukan suamiku. Tetapi ketika kutatap sekali lagi wajahnya yang
samar-samar kulihat dari kejauhan dan dari kerumunan orang, aku
mantapkan hati bahwa dia memang suamiku. Ikhwan itu memang benar-benar
Mas Yusufku. Melihat hal itu, langsung saja aku palingkan wajahku dan
mengajak Nadia, sahabatku untuk beranjak pergi dari awal tempatku
berdiri. Aku tidak mau Nadia sampai tahu kalau ternyata Mas Yusuf
menjadi salah satu pengibar bendera Palestina disana. Sebab dari awal
aku sudah terlanjur bilang padanya bahwa Mas Yusuf tidak bisa hadir
karena ada urusan di sekolahnya. Nadia pun percaya. Dan aku tidak ingin
kepercayaan Nadia itu berubah menjadi ketidakpercayaan padaku atau pun
suami, karena dia telah melihat Mas Yusuf disana.
Dengan
gontai kulangkahkan kakiku keluar dari kerumunan orang-orang yang
sedang bersemangat itu. Kuajak serta Nadia dari sana dengan alasan aku
lelah dan ingin mencari minum pelepas dahaga. Dan kebetulan saja, waktu
sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB, menandakan bahwa sebentar lagi azan
zuhur akan berkumandang. Segera saja kuajak Nadia untuk pergi dari Monas
menuju masjid terdekat, Masjid Istiqlal. Disana sudah banyak ikhwan /
akhwat yang berpeluh dan berkeringat tengah membanjiri Masjid Istiqlal
untuk melaksanakan shalat Zuhur. Aku dan Nadia mencari tempat wudhu
wanita dan mengambil wudhu disana. Cukup mengantri memang, tapi akhirnya
aku dan Nadia bisa mengambil air wudhu sebelum azan Zuhur berkumandang.
Kuselonjorkan
kakiku dan kusandarkan punggungku kesalah satu tiang masjid ketika aku
dan Nadia sudah mendapatkan posisi yang cukup nyaman untuk shalat.
Sambil menunggu azan berkumandang, kunikmati sebotol air mineral yang
tadi aku beli sambari angin sepoi-sepoi dan semriwing membelai-belai
wajahku. Diwaktu yang sama, kulihat Nadia juga melakukan hal yang sama
sepertiku. Kulemparkan senyum padanya lalu kuarahkan kembali pandanganku
lurus kedepan. Angin sepoi-sepoi terus saja membelai lembut wajahku
ketika tiba-tiba saja kedua mataku basah dengan air mata. Aku teringat
kembali dengan Mas Yusuf. Kenapa dia berbohong padaku? Apa dia tidak mau
pergi keacara itu bersamaku sehingga dia harus berdusta? Atau apa?
Sekuat tenaga kuluruskan pikiranku dan sebenarnya aku tak ingin
bersu’udzan padanya. Tapi..... Seketika air mataku jatuh membasahi
wajahku. Aku tersadar. Ternyata azan Zuhur
tengah
berkumandang. Aku segera mempersiapkan diri untuk melaksanakan shalat
Zuhur bersama Nadia dengan terlebih dahulu melaksanakan sunnah rawatib 2
rakaat. Nadia menjadi imam dan aku menjadi makmum. Setelah shalat Zuhur
kami melaksanakan shalat sunnah rawatib lagi 2 rakaat lalu kembali
istirahat sebentar. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 13.00, kami
memutuskan untuk pulang. Diperjalanan Nadia banyak sekali bercerita
tentang hal-hal yang lucu. Aku ingin sekali tertawa tapi tidak bisa.
Bayangbayangku
tentang Mas Yusuf kembali mengusik pikiranku. Hal itu mengalahkan semua
rasa dan pemikiranku yang kala itu tengah mendengarkan cerita Nadia.
Aku hanya bisa tersenyum kecil tanpa bisa berkomentar apa-apa. Dan
ketika Nadia bertanya padaku tentang sikapku, aku hanya menggeleng dan
menjawab, ”Nggak. Aku enggak kenapa-kenapa. Terus bagaimana
kelanjutannya?”
Lalu Nadia pun melanjutkan
ceritanya. Aku hanya mendengarkannya dengan pikiran yang entah kemana
perginya. Nadia mengajakku mampir sebentar ke warung somay yang ada di
Stasiun Gondangdia. Aku menurutinya. Aku memesan satu porsi tapi tidak
habis.Nadia membayarnya dan aku pun memberikan uang sepuluh ribuan
padanya. Awalnya dia menolak tapi kupaksa dan akhirnya dia menerimanya.
Kami
naik keatas dan membeli tiket. Nadia yang membelinya. Jurusan Lenteng
Agung dan Pasar Minggu. Di Stasiun Gondangdia sudah banyak sekali orang
yang beratribut Palestina. Entah bajunya, kerudungnya, atau topi dan pin
yang mereka kenakan. Memang, semangat saudara-saudara kita di Palestina
tidak pernah surut untuk melawan penjajah Israel, sampai mereka takluk
dan menyatakan menyerah pada rakyat Palestina.
Ya...memang
masa-masa itu belum tahu kapan tapi yang pasti saat-saat itu akan ada
masanya. Dan aku yakin Allah pasti akan menepati janjiNya. Sebagaimana
dijelaskan dalam wahyuNya, surat Al-Baqarah ayat 85-86.
”Kemudian
kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir
segolongan dari kamu kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap
mereka dengan perbuatan dosa dan permusuhan, tetapi jika mereka datang
kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu
(juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian alkitab
(Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi
orang yang berbuat demikian darimu, melainkan kenistaan dalam kehidupan
dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat
berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orangorang
yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan
diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong”
Dari
jarak beberapa meter aku melihat seorang akhwat yang sepertinya aku
kenal. Dia sedang berbincang dengan beberapa teman akhwatnya sesama
aktivis. Aku berusaha mengingatnya sekuat tenaga. Tapi siapa dia?
Alhamdulillah setelah berpikir keras, aku mengingatnya. Dia adalah
sahabatnya Alifa. Dia pernah datang bersama Alifa ke pesta pernikahanku.
Ingin sekali rasanya aku mendekatinya dan menanyakan kabar Alifa
padanya. Dengan langkah yang pasti, aku mengajak Nadia untuk
menghampirinya.
”Assalamu’alaikum” Ucapku padanya.
”Wa’alaikummussalam” Sahutnya bersama dengan beberapa temannya.
”Afwan, ana mau tanya, apa anti temannya Alifa?” Tanyaku sambil mengarahkan pandanganku pada orang yang kumaksud.
”Oh, iya ana temannya Alifa. Ana Ririn. Afwan, anti istrinya akh Yusuf kan?”
”Iya.
Ehm, ana mau tanya, bagaimana kabar Alifa sekarang? Apa dia tidak ikut
munasoroh? Atau mungkin dia pergi dengan suaminya ya?”
Wajah ukhti yang ada dihadapanku terlihat muram.
”Ada apa ya Rin?” Tanyaku langsung padanya.
”Ehm...keadaan Alifa sekarang tidak begitu baik” Jawabnya dengan nada sedih.
”Memang dia kenapa?”
Ririn mulai menjelaskan.
”Seminggu
setelah pernikahannya, suaminya meninggal akibat kecelakaan kereta api.
Mobil yang dikendarainya mogok dan terjebak di rel kereta api. Dan pada
saat yang bersamaan, kereta datang melintas dan Guntur....” Ririn
memutus perkataannya. Aku hanya bisa diam sambil meringis mendengarnya.
Dalam hati aku terus beristighfar.
”Lalu keadaan Alifa sekarang bagaimana?” Tanyaku setelah tadi aku sempat terkejut mendengarnya.
”Keadaan
terakhir yang aku tahu, dia kini terbaring di rumah sakit karena stres.
Awalnya dia bisa menerima kenyataan ini, tapi makin kesini, kondisinya
semakin parah. Dia tidak mau makan dan minum, sampai akhirnya sakit. Dia
terus memikirkan kematian suaminya yang sangat tragis. Dan pada
akhirnya dia harus dilarikan ke rumah sakit karena kondisi tubuhnya
semakin lemah dan parah” Jelas Ririn. Aku diam sejenak lalu bertanya di
rumah sakit mana Alifa dirawat. Setelah Ririn memberitahukan dimana
Alifa dirawat, aku segera meminta diri untuk beranjak dari tempatku
berdiri kini. Nadia bertanya padaku siapa Alifa. Aku menjelaskan padanya
tentang Alifa. Sekedarnya tanpa menceritakan padanya kalau Alifa itulah
yang sebenarnya menjadi impian Mas Yusuf.
Tanpa
terasa kereta yang kami tunggu-tunggu sudah datang. Segera saja aku dan
Nadia menjejalkan diri masuk kedalamnya. Alhamdulillah bisa masuk
dengan selamat. Di sekeliling kami hampir semua berjilbab putih. Sangat
bisa ditebak bahwa kami habis melakukan aksi munaoroh Palestine di
Monas. Aku tak peduli dengan tatapan orang-orang lain pada kami. Aku
hanya ingin cepat-cepat sampai dirumah dan merebahkan tubuh ini diatas
tempat tidur.
Biasanya sepulang aksi-aksi
seperti ini, ada semangat baru yang terpatri dalam diriku untuk kembali
bangkit merencanakan hari esok. Tapi sekarang, entah mengapa tiba-tiba
semangat itu seakan pudar. Terhapus oleh bayang-bayang Mas Yusuf yang
tadi aku lihat dan juga bayang-bayang Alifa yang kini mungkin tengah
terbaring tak berdaya dirumah sakit. Tapi aku berharap Alifa pun sudah
sembuh dan bisa bangkit merajut hari-hari barunya.
Menuju
stasiun Tebet, alhamdulillah ada dua orang perempuan yang bangkit dari
duduknya dan segera saja aku gantikan tempat duduknya bersama Nadia.
Kulihat kesekeliling tidak ada orang yang mungkin lebih pantas
mendapatkan tempat duduk itu.
Aku mengucap
syukur karena akhirnya bisa duduk. Beberapa menit kemudian datang
kehadapanku seorang perempuan tua yang mengais rezeki dengan cara
menyapu lantai kereta dengan sapu kecilnya. Pakaiannya compang camping
namun tetap berkerudung, menandakan bahwa dia seorang muslim. Di
pinggangnya terdapat sebuah tas untuk menaruh uang hasil menyapu yang
dengan ikhlas diberikan oleh penumpang kereta. Dia menadahkan tangan
kanannya padaku. Hatiku tersentuh dan langsung ku keluarkan uang lima
ribu rupiah dan kuberikan padanya. Nadia pun ikut mengeluarkan uang
seribu rupiahnya untuk diberikan pada ibu itu. Wajahnya begitu
berseri-seri saat menerima uang dariku dan Nadia. Dia pun mengucapkan
terima kasih dan kembali menyapu bagian yang lain dari lantai kereta.
Nadia mungkin heran melihatku memberikan ibu tadi uang lima ribu rupiah.
Dia lantas menanyakan perihal tersebut padaku.
”Kamu
memberikannya uang lima ribu Nda?” Tanyanya dengan memanggilku dengan
sebutan ’Nda’. Ya, memang hanya Nadia yang memanggilku dengan kosakata
terakhir dari namaku, ’Nda’.
”Apa menurutmu, uang lima ribu rupiah itu besar?” Tanyaku balik padanya. Nadia mengangguk.
”Menurutku itu terlalu besar Nda. Apa tidak ada uang kecil?”
”Ada.
Tapi bagiku, uang lima ribu itu tidak ada artinya bila dibandingkan
dengan semua nikmat yang telah Allah berikan padaku. Uang lima ribu itu
hanya sebagai ungkapan rasa syukurku saja pada Allah swt karena paling
tidak, Dia masih berkenan mengizinkan aku untuk dapat hidup enak dan
nikmat tanpa harus bekerja keras seperti yang ibu tadi lakukan. Aku
hanya ingin membagi rasa syukurku ini pada orang-orang yang memang
pantas untuk menerimanya. Lagi pula dia bukan hanya mengemis, tapi juga
secara tidak langsung dia sudah membantu kita dengan membersihkan lantai
kereta ini. Benar kan Nad?” Jelasku pada Nadia. Nadia mengangguk lagi.
Sesaat
lamanya kami diliputi kebisuan. Hanya angin yang berhembus dari jendela
kereta yang berbisik-bisik membelai wajah kami. Tepat di Stasiun Tebet
banyak penumpang yang turun, namun hanya sedikit orang yang naik.
Alhasil kereta menjadi agak sedikit lengang. Banyak penumpang yang
tadinya berdiri kini mendapat tempat duduk.
Mataku
menangkap jelas dua orang laki-laki berpakaian rapi yang sepertinya
tidak ada kerutan sedikitpun di baju dan jas mereka. Dengan
masing-masing membawa tas agak besar mereka berdiri tak jauh dari pintu
masuk kereta. Mereka terus berbincang-bincang sampai kereta mulai
berjalan kembali. Namun kemudian mereka masuk agak kedalam sehingga tak
terlihat lagi oleh pandanganku. Beberapa menit setelah kereta melaju di
rel-nya, tiba-tiba terdengar suara bentakan hebat yang dilayangkan oleh
seorang laki-laki.
”Hei! Perempuan tua
jalang! Berani-beraninya kau mengotori sepatuku dengan sampah busukmu
itu. Pantaslah tanganmu itu kuinjak karena kau telah mengganggu kami
dengan sapu bututmu itu. Enyahlah kau dari hadapanku, dasar perempuan
tak tahu diri!” Bentak salah seorang dari penumpang yang aku tidak tahu
siapa dia. Aku bangkit dari dudukku sesaat untuk mengetahui siapa yang
berani berbuat kurang ajar pada seorang perempuan yang dibilang jalang
olehnya.
Ternyata yang berbuat hal yang
memalukan itu adalah salah seorang dari dua orang penumpang laki-laki
yang berpakaian rapi dengan membawa tas agak besar yang tadi sempat aku
perhatikan. Dan perempuan tua yang dihina olehnya adalah ibu tua yang
tadi menadahkan tangannya padaku dan Nadia. Ibu tua itu duduk menangis
sambil mengusapusap tangannya yang katanya terinjak oleh orang yang
menghinanya tadi. Aku sungguh tak tega melihatnya.Orang yang berpakaian
rapi yang satunya lagi mengusap-usap bahu temannya itu. Aku harap dia
bisa menyadarkan temannya itu yang sudah berbuat kurang ajar pada ibu
tua itu. Tapi ternyata dugaanku salah. Dengan setali tiga uang, orang
yang satunya lagi malah ikut-ikutan mencaci ibu tua itu.
”Hei!
Pergi kau dari sini. Seperak pun tak akan aku berikan uangku untukmu.
Pergi kau! Dasar perempuan tua tak tahu diuntung. Mengganggu saja! Pergi
kau!!” Ucapnya dengan nada yang lebih tinggi dari orang yang
sebelumnya.
Semua penumpang yang ada di
dalam kereta mengarahkan pandangannya pada dua orang laki-laki dan ibu
tua itu. Sungguh, aku jadi naik pitam. Aku sungguh tak tega melihat dua
orang itu menghina ibu tua itu. Aku harus bertindak. Tapi apa? Semua
orang yang ada dalam kereta tidak berani bertindak. Ini sudah
keterlaluan. Ini sudah termasuk perbuatan zalim. Dan kezaliman harus
segera di musnahkan.
Setelah kurasa tak ada
yang cukup berani meluruskan kesalahan dua orang itu, akhirnya aku
putuskan untuk membela ibu tua itu yang aku rasa dia tidak bersalah.
”Cukup-cukup!!” Teriakku sambil berjalan kearah ibu tua itu. Aku rasa
semua yang ada disana sedang memperhatikanku. Sebenarnya aku sangat
takut dan gemetar, tapi aku yakin aku bertindak yang memang seharusnya
dilakukan oleh setiap muslim yang melihat kemungkaran dan kezaliman. Dua
laki-laki itu mengarahkan tatapan sinis padaku. Jujur, pada saat itu
aku hanya bisa pasrah pada Allah swt.
”Tidak
sepantasnya kalian sebagai seorang yang berpendidikan, berperilaku
seperti itu. Saya yakin kalian ini pasti seorang yang berpendidikan
bukan? Apakah pantas kalian berdua menghina ibu ini dengan hinaan yang
sebenarnya sangat tidak patut keluar dari mulut kalian sebagai seorang
yang berpendidikan? Apakah hanya karena sepatu bagus kalian yang
mengkilap, kalian merasa pantas menghina ibu ini? Apakah hanya karena
kemeja dan celana kalian yang licin, lalu kalian merasa benar untuk
mencaci makinya?
Kalau hanya karena itu
semua kalian merasa benar melakukan hal itu, maka sebenarnya yang hina
bukan ibu ini, melainkan kalian” Ucapku dengan tegas sambil membantu ibu
tua itu untuk berdiri.
”Apa maksud perkataanmu hei?” Tanya salah seorang dari dua laki-laki itu yang mengenakan kemeja berwarna biru tua.
”Apa
kurang jelas apa yang saya ucapkan tadi? Kalau kalian merasa benar
melakukan hal itu, maka kalian pun tak lebih tinggi dari seorang
pecundang. Kalian menghina seorang ibu yang sudah tua renta ini tanpa
sebuah rasa tak tega sedikitpun. Hanya karena dia tak sengaja mengotori
sepatu kalian, lantas kalian menghinanya. Apakah harga diri kalian hanya
sebatas sepatu kalian yang mengkilap itu?”
”Hei!
Tutup mulutmu perempuan berjilbab. Tahu apa kau tentang harga diri.
Hah?” Kali ini laki-laki yang mengenakan kemeja merah marun yang
bertanya padaku.
”Apakah kalian tidak pernah
berpikir sedikitpun tentang kehidupannya ketika mata kalian melihat dia
mencari sesuap nasi dengan membersihkan gerbong kereta ini? Kemana hati
nurani kalian tatkala tangan tua rentanya menyingkirkan sampah-sampah
yang kita buang sembarangan disini? Saya tanya, apakah pekerjaannya itu
mengganggu kalian? Apakah pekerjaannya itu menyusahkan kalian sehingga
kalian harus marah padanya? Apakah kalian bisa menjawabnya? Hah?!”
Dua
lelaki itu diam seribu bahasa sambil saling bertatap-tatapan. Aku masih
terus saja merangkul ibu tua itu tanpa sedikitpun rasa geli dalam
diriku karena pakaian yang dikenakannya sangat kotor.
”Apa
yang dilakukannya itu adalah sebuah perbuatan yang terpuji. Kita yang
membuang sampah sembarangan lalu dia yang membersihkannya, apa kita
tidak malu? Sebagai seorang yang berpendidikan dan beragama, apakah
pantas kalian menghina seseorang yang justru telah mengajarkan kita akan
pentingnya kebersihan? Coba kalian pikir, kata-kata yang kalian
lontarkan tadi bisa jadi sangat menyakitkan hatinya. Coba kalian
perhatikan air mata yang mengalir di wajahnya. Itu menandakan bahwa
hatinya sangat perih. Demi mendapatkan sesuap nasi untuk mengganjal
perutnya hari ini, dia sampai rela menahan rasa sakit di hatinya karena
ucapan kalian. Belum lagi tangannya yang terinjak oleh salah satu
diantara kalian. Dia telah berjasa membersihkan tempat ini agar kita
nyaman berada di dalamnya, tapi apa yang kalian berikan padanya? Sebuah
cacian dan hinaan. Bahkan untuk mengeluarkan uang seribu dua ribu saja
kalian tidak bersedia, kalian malah menghujaninya dengan cacian”
Itulah
ucapan yang aku lontarkan pada dua lelaki yang kini hanya bisa diam
mematung sambil menatap wajahku dan ibu tua yang kini ada di sampingku.
Aku yakin semua orang tengah memandangi kami berempat. Aku kembali
berkata pada dua lelaki itu.
”Saya yakin
kalian seorang muslim. Terlihat dari gantungan tas kalian yang
berlambangkan Allah. Apakah kalian tidak menyadari bahwa iman kalian
belum sempurna?”
”Hei, jangan bicara sembarangan. Kami orang yang beriman dan hanya Allah Tuhan kami” Sahut lelaki berkemeja merah marun.
”Kalau
kalian merasa benar-benar beriman, seharusnya kalian bisa lebih
mencintai saudara kalian sesama muslim. Rasulullah bersabda, Belum
sempurna iman seseorang dari kalian hingga ia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Kalau memang kalian mencintai
diri kalian, seharusnya kalian juga bisa mencintai saudara kalian sesama
muslim sehingga kalian benar-benar bisa merasakan manisnya kesempurnaan
iman itu. Saya yakin kalian pasti tidak mau memikul kebohongan dan dosa
yang nyata bukan?”
”Apa maksudmu dengan kebohongan dan dosa yang nyata?” Kali ini laki-laki berkemeja biru tua yang bertanya.
”Allah
berfirman dalam Qur’anNya, Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang
mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka
sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata . Saya
harap, kalian bisa memahami ayat itu. Dalam ayat yang lain, Allah juga
mengingatkan kita agar jangan mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh
jadi, mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari pada mereka yang
mengolok-olok. Mohon diingat akan hal itu.
”Saya
hanya ingin mengingatkan kalian agar tidak sombong. Apa yang kalian
lakukan itu adalah perbuatan yang sombong dan tidak mensyukuri nikmat
yang Allah berikan. Coba sedikit saja tundukkan hati kalian dan sedikit
berpikir, bagaimana kalau semuanya berbalik dan kalian atau keluarga
kalian yang sekarang ada di posisi ibu ini. Apa perasaan kalian saat
ini? Saya yakin kalian tidak bisa menjawabnya karena jawaban itu sudah
kalian telan mentah-mentah bersama hinaan-hinaan kaliantadi. Harusnya
kalian bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan pada kalian
untuk hidup enak sehingga kalian tidak perlu susah-susah mencari uang
seperti yang ibu ini lakukan. Tolong kalian buang kesombongan kalian
itu. Allah bisa marah karena pakaianNya kalian pakai. Kesombongan adalah
dosa besar yang menyebabkan iblis di usir dari surga. Rasulullah
bersabda, Orangorang yang sombong akan dikumpulkan pada hari kiamat
bagaikan semut kecil dalam wujud manusia.
Mereka
dikepung oleh kehinaan dari seluruh arah. Mereka digiring ke sebuah
penjara dalam neraka Jahanam . Mereka ditutupi oleh api paling panas dan
diberi minuman dari nanah penduduk neraka.
”Jadi
sekali lagi saya mohon, buanglah rasa angkuh kalian. Jangan sampai
jabatan dan kedudukan kalian saat ini membuat kalian gelap mata dan
akhirnya terjebak dalam bayangbayang neraka jahannam yang tengah menanti
orang-orang yang sombong. Saya
melakukan hal ini,
karena saya tidak tega melihat ibu ini dicaci dan dihina. Sepatutnyalah
kalian menghormatinya karena biar bagaimanapun, dialah yang lebih dulu
menempati dunia ini dibanding kita. Ibu ini telah mengajarkan kita akan
banyak hal. Tentang kebersihan, kesabaran dalam menghadapi hidup, dan
sebuah usaha dan kerja keras yang juga di iringi dengan ikhtiar,
tawakal, dan rasa syukur. Betapa hidup ini harus dijalani tanpa mengenal
kata putus asa. Itulah muslim sejati”
Dua
lelaki berkemeja licin itu tampak berkaca-kaca. Raut wajahnya terlihat
sekali kalau mereka sangat menyesal. Mereka saling bertatap-tatapan
kemudian mereka mengaku sangat menyesal dengan tindakannya terhadap ibu
tua itu. Setelah mengucapkan terima kasih padaku, mereka menyalami ibu
tua yang kini ada disampingku sambil meminta maaf padanya dan memberinya
dua lembar uang seratus ribuan. Ibu tua itu menghapus air matanya. Dia
tersenyum padaku dan mengucapkan terima kasih. Aku balik tersenyum
padanya dan terdengar tepukan tangan yang diiringi dengan pekikan takbir
dari penumpang kereta yang hampir seluruhnya adalah mereka yang
mengikuti aksi munashoroh Palestine di Monas.
Tepat
di stasiun Pasar Minggu baru ibu tua itu turun. Aku kembali lagi pada
Nadia. Ada beberapa orang mengucapkan selamat padaku. Nadia menyampaikan
rasa salut dan kagumnya padaku. Aku sampaikan padanya bahwa sungguh
saat aku mengucapkan katakata itu, yang terbersit dalam pikiranku adalah
bagaimana caranya agar dua lelaki itu bisa mengerti arti kehidupan ini.
Dan sejujurnya aku katakan bahwa sampai
saat ini hatiku masih berdegup kencang.
Di
stasiun Pasar Minggu Nadia turun. Aku hanya mengucapkan terima kasih
dan tersenyum padanya. Kereta terus melaju dan terus membawaku beserta
orang-orang yang ada dalam kereta menuju stasiun yang satu ke stasiun
yang lain. Banyak yang turun namun tak sedikit pula yang terus memadati
sesaknya kereta. Stasiun Lenteng Agung sebentar lagi. Aku bersiap-siap
untuk turun. Setelah sampai aku pun turun. Aku keluar satsiun dan
menghentikan angkot berwarna coklat. Tepat di sebuah sekolah rumah makan
padang aku turun dan membayar angkotnya.
Dirumah
kontrakanku yang mungil, aku mencurahkan segalanya. Teringat kembali
semua kejadian yang aku alami hari ini. Aku yang melihat Mas Yusuf di
Monas, pertemuanku dengan sahabatnya Alifa dan mengabarkan aku kalau
Alifa saat ini tengah dirawat di rumah sakit karena suaminya meninggal,
juga kejadian di kereta tadi yang membuatku semakin mengerti arti hidup
ini.
Setelah istirahat sejenak, aku mandi
dan shalat Ashar. Mas Yusuf belum juga pulang. Aku menyempatkan diri
memasak sayur sawi dan menggoreng telur untuk makan malam Mas Yusuf.
Tapi sampai Maghrib tiba, dia belum pulang-pulang juga. Masakanku sudah
dingin. Sebenarnya aku ingin menghubunginya tapi aku khawatir dia akan
menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang tidak semestinya. Akhirnya
kuurungkan niatku.
Kulihat jam dan azan Isya
berkumandang. Aku putuskan untuk segera shalat dan mengadu PadaNya. Aku
ingin sekali menangis. Menangis dengan sungguh-sungguh di hadapan
Rabbku. Menangis dengan air mata yang sejak tadi siang kutahan. Aku tak
pernah sesedih ini. Rasanya sakit seperti teriris-iris pisau sembilu.
Aku kecewa padanya.
Kucurahkan semua
perasaanku dalam buku harianku. Diatas buku itu kugoreskan tinta
hitamku. Berharap agar perasaanku yang kini gundah dapat berubah menjadi
lebih tenang. Hanya buku harianku yang selama ini selalu menemaniku
melewati hari-hari yang baru aku jalani bersama Mas Yusuf. Suamiku yang
aku tahu tidak pernah mencintaiku. Suamiku yang aku tahu berbohong
padaku tadi siang. Remuk rasanya jiwa ini. Sejadi-jadinya aku menangis
sambil terus mencurahkan perasaanku di dalam buku harianku.
Kurasa
mataku bengkak. Aku sudah mulai mengantuk tapi Mas Yusuf belum juga
pulang. Tidak menelepon ataupun mengirimkan sms sekedar memberitahukan
dimana dia sekarang. Kuseka air mataku dan aku beranjak mengunci pintu
depan. Mas Yusuf membawa kunci rumah yang satu lagi. Aku melihat kembali
makanan yang tadi aku masak. Sudah sangat dingin. Aku masukkan sayur
kedalam penghangat nasi dan telurnya kubiarkan diatas meja makan yang
kututup dengan tudung saji.
Aku kembali lagi
kekamar dan bersiap untuk tidur. Namun baru sekitar 15 menit aku
memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara pintu rumah dibuka. Aku yakin
itu Mas Yusuf. Kudengar dia melangkah masuk kedalam kamar. Aku masih
memejamkan mata sambil memiringkan tubuhku membelakanginya. Aku putuskan
untuk tidak bangun dan menyambut kedatangannya. Aku kahawatir dia
melihat mataku yang bengkak lalu dia menanyakan alasannya. Kumantapkan
hati untuk tidur malam ini. Dan Mas Yusuf? Biarlah dia makan sendiri
malam ini. Toh, nasi, sayur, dan telurnya sudah aku siapkan di meja
makan. Biar bagaimana pun, aku hanya ingin menjadi istri yang baik dan
berbakti pada suami.
Meskipun hatiku sakit.
Tapi untuk malam ini, maafkan aku Mas jika kamu makan sendiri. Aku tak
sanggup melihat wajahmu. Di luar, hujan turun secara perlahan
mengantarkan deras yang tiada terkira. Dalam pejam malamku aku berdo’a,
”Ya
Allah, ampuni segala dosa-dosaku dan dosa-dosa suamiku. Berikanlah kami
kekuatan untuk bisa tetap bertahan di jalan IstiqomahMu. Aamiin”
Sisa-sisa
hujan masih terus saja mengguyur kota Jakarta. Dan pagi ini pun hujan
masih terus turun dengan derasnya. Sebagian kota Jakarta sudah ada yang
tergenang banjir. Aku lihat di berita pagi yang menyebutkan bahwa
sebagian kawasan di Jakarta sudah terendam oleh banjir setinggi 1-2
meter. Kebetulan hari ini adalah hari ahad, jadi tidak ada kegiatan yang
mengharuskan aku keluar rumah. Dan aku putuskan untuk tetap dirumah dan
kembali duduk di depan komputer untuk meneruskan tulisanku.
Jam
dinding sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Kulihat Mas Yusuf sedang
menonton televisi. Aku sedang memasak nasi goreng untuk sarapan paginya.
Setelah itu kami sarapan bersama tanpa perbincangan yang berarti. Hanya
suara penyiar berita di televisi yang mengisi kebisuan kami. Selesai
sarapan aku memasak tumis kangkung dan menggoreng tempe. Tak lupa sambal
goreng yang menjadi pelengkap menu masakan hari ini. Selesai masak
pukul 08.45. Aku bergegas membersihkan tubuhku dari sisa asap masakan.
Aku berencana meneruskan tulisanku setelah shalat dhuha nanti.
Hujan
belum juga reda sementara petir terus saja bersahut-sahutan di langit
sana. Aku masuk ke kamar dengan sebelumnya menatap Mas Yusuf yang tengah
membaca koran di ruang tamu. Televisinya dimatikan, mungkin karena
takut tersambar petir. Aku shalat dhuha di kamar, bermunajat sebentar,
kemudian langsung menghidupkan komputerku.
Aku
mulai terhanyut dalam lautan kata-kata sebelum Mas Yusuf memanggilku
karena ada telepon dari pihak penerbit. Aku keluar dan menerima telepon
itu. Tak berapa lama, aku menyudahinya. Dari pihak penerbit memintaku
untuk membuat ucapan terima kasih karena novel ketigaku akan segera
diterbitkan. Hatiku senang tiada terkira. Berkali-kali kuucap rasa
syukur yang teramat dalam pada Allah swt. Di tengah derasnya hujan yang
belum juga berhenti, aku mendapatkan berita yang menyejukkan hatiku.
Aku
kembali ke kamar untuk meneruskan tulisanku. Kulihat kini Mas Yusuf
tengah meringkuk di atas tempat tidur membelakangi diriku. Kuposisikan
diriku di depan layar komputer. Baru beberapa baris aku mengetik, Mas
Yusuf membalikkan tubuhnya dan bertanya padaku.
”Ada apa dari pihak penerbit menelepon?”
”Memberi
tahu kalau novelku yang ketiga akan segera di proses” Jawabku singkat
tanpa memalingkan wajahku dari layar komputer. Tiba-tiba aku
berinisiatif membuatkan susu hangat untuk Mas Yusuf. Aku menoleh sesaat
ke arahnya yang tengah bersandar di kepala tempat tidur sambil membaca
buku. Aku beranjak keluar kamar untuk membuat susu hangat kemudian ku
berikan padanya.
”Nih Mas. Susu hangat untuk
menghangatkan tubuh” Kataku sambil menyodorkan segelas susu padanya.
Dia menerimanya dan meminumnya sedikit demi sedikit. Aku masih duduk di
pinggir tempat tidur sambil menatapnya. Aku begitu mencintainya. Apakah
dia juga merasakan hal yang sama sepertiku? Kutepis segera pemikiranku.
Aku kembali tertuju pada komputerku sebelum Mas Yusuf menggamit tanganku
dan menyuruhku untuk tetap duduk.
Aku tak tahu apa
yang hendak dia lakukan. Dia beranjak dari tempat tidur lalu mematikan
lampu yang ada di kamar dan menutup semua gorden di jendela kamar.
Tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Apa yang hendak ia lakukan?
Dia berjalan ke arahku dan pada saat yang sama, dia mengajakku
bercinta.
Yang aku ingat, terakhir kami memadu kasih.....3 minggu yang lalu.
Hatiku kembali berdebar. Mataku menatap penuh tajam ke arah matanya.
Di
tengah derasnya hujan, Mas Yusuf membawaku ke taman surga. Di pojok
kamar sana, komputer belum sempat aku matikan. Aku masih belum mengerti
kenapa Mas Yusuf mengajakku bercinta. Jujur, ini adalah kado terindah
untuk novelku yang ketiga. Atau mungkin, ini adalah penebus rasa
bersalahnya karena kemarin dia telah berbohong padaku. Entahlah
~~**♥ NEXT CHAPTER,,,,THE END ♥**~~